+ -

13 Maret 2017

Kopi Tanpa Gula





Pagi ini beberapa kali aku tersendak oleh kopi yg aku buat sendiri. Terlihat biasa memang, akan tetapi ada yang berbeda setelah seduhan ketiga, seakan rasa manis sirna. "Apa aku melupakan gula?, apa ini salahku?", aku bertanya pada diriku sendiri. Memang, pagi ini tidak ada gula, rasa manis seakan harus sirna di pagi yang seharusnya menjadi awal rasa menuju gelap nanti. "Ada apa ini? kenapa ini?". Gula sudah habis setelah maghrib hari kemarin. "Mungkin aku terlalu banyak memberikan gula untukku aduk". Selepas maghrib kemarin, memang rasa manis terasa sedikit berlebihan, aku terlalu menikmatinya, aku lupa kalau pagi ini aku masih membutuhkan rasa manis itu. "Tak apa, aku tetap menikmatinya". sambil tersenyum diantara rasa pahit dan instrumen sendu Bethoveen.


Dengan sisa ampas kopi yang mulai mengering, tampak hari sudah berganti dengan melewati mentari siang dan sore. Jam dinding dengan nuansa klasik, bertuliskan Rolex dengan angka romawi berdering khas jam tahun 1800an menunjukkan jam 18.19 waktu petang. Mengalahkan syhmphony yang terdengar lirih sejak pagi atau bahkan kemarin tanpa berhenti, hanya berganti. "Aku kalut begitu lama, hingga melewatkan waktu kebersamaanku dengan Tuhan. Aku tertidur seperti tanpa dosa, sekarang aku harus membayarnya, aku harus bersuci terlebih dahulu".

Salam penutup dan beranjak berdiri dengan kepala sedikit tidak karuan. "Aku akan mulai memperbaiki ini, akan ku mulai dari keadaanku". Suara hati yang bermakna seperti janji, entah janji pada diri sendiri atau janji pada Tuhan, yang jelas aku sering sekali mengucapkanya, sadarku. 

Malam ini bulan muda hanya sebentar memberikan sinar temaram. Tetapi terlihat jelas rasi bintang membuat sebuah pola rangkaian yang tampak seperti gugusan pasir yang menyebar luas dan bercahaya, membujur tanpa sudut, tanpa batasan. "Aku baru melihat langit, yaa.. aku seharian tidur seperti tanpa dosa, ahhhh.. aku sudah berdosa, dengan beberapa dosa. Angin berhembus lirih, membawa hawa dingin malam, tetapi sahdu menghangatkan. "Apakah aku harus meratapi rasa manis yang telah sirna?", sadarku dengan kepala yang mulai ringan, "Andai manis rasa itu adalah gula, aku cukup kaya untuk membeli segudang gula dengan kualitas super istimewa, atau membeli pabrik gula terbaik di negeri ini". pada kenyataannya, ahhh kadang kenyataan hanya akan menimbulkan tetes peluh dan air mata, ahh itu sesat, sesat, sambil aku mengingat kutipan kesesatan yang tergambar dari bait - bait Kuntowijoyo.

"Menangis adalah cara yang sesat untuk meredakan kesengsaraan. kenapa tidak tersenyum, Cucu. Tersenyumlah, bahkan, sesaat sebelum orang membunuhmu. Ketenangan jiwa dan keteguhan batin mengalahkan penderitaan. Mengalahkan, bahkan kematian..."

Tepat, aku begitu mengingatnya, tetapi semakin aku mengingatnya aku semakin merasa malu. "Boleh saja aku malu, tapi aku tak mau kalah, Aku tak boleh kalah dengan kata-kata, aku akan bangun, aku harus bangun ! “. Aku belum selesai.

Pancar sejuk rembulan
Dalam pelukan malam
Tak dapat berdalih jika angan
Masih bergelut rindu dengan kelam
Pancar sejuk rembulan
Tak pernah terbenam terlalu dalam
Jika bayang – bayang ucapan
Kalah pada kenyataan
Untuk selalu terkesan
Pada alam dan kesempurnaan

Aku selalu mengingat, ketika ingatan sedang dalam keadaan sehat, ingatan dalam pikiran tak pernah seimbang dengan arah hati jika mata terbuai kesejukan dunia, dunia sejuk jika selalu bisa menerima tanpa tolakan dan tentangan, begitu juga wanita. Semua kunikmati hingga aku terbenam dalam liang kegelapanku sendiri. Aku melupakan pelajaran yang tak pernah diajarkan dalam teori sekolahan, aku lupa kehidupan lebih luas dari teori – teori. Semua belum terlambat. Aku dengan nafasku masih diberikan kemesraan. Nafasku tak pernah berbicara langsung kepadaku, tapi akhir – akhir ini, ia memberiku hentakan bahwa dibalik kesejukan ada kegerahan, dibalik wanita (cinta) ada dusta yang menjadi bayang – bayang, dibalik teori yang besar ada kenyataan yang bergelut dengan waktu dan kehidupan.

Riuh, riang dan meriah bunyi sandal beberapa orang bocah, berjalan sambil bergurau, sambil tersenyum seakan tanpa beban tanpa tujuan. Hanya tersenyum dan tertawa kecil, begitu tulus dan ikhlas. Seperti bocah sedunia, kebiasaan selalu sama. Bocah laki - laki jahil terhadap bocah perempuan, dengan bersenjatakan sarung atau kopyah dengan jurus kemesraan. Bocah perempuan membalas dengan lekuk senyuman genit, bertameng sajadah dan mukena yang dipeluknya. Pertarungan itu begitu bertubi-tubi dengan alunan kokok ayam jantan yang seakan memberikan suasana pertarungan semakin harmonis dan romantis. Bocah laki - laki berjumlah 4 dan bocah perempuan berjumlah 3. Tidak ada yang menang dan kalah, semua berjalan begitu indah. Sumur masjid yang memaksa pertarungan itu selesai, berakhir dengan damai. Kokok ayam, gemricik air, dan bunyi mesra sandal menuju surau. "Aghhh, apakah ini kedamaian abadi yang di maksud dalam Undang - undang ?, pertanyaan konyol pikirku". 

Lirih pelan, berhembus angin kembali membawa dalam suasana lamunan. Benar - benar hening, tidak dingin tidak panas, seakan tanpa kepastian. Tidak lama, seakan angin merubah keheningan menjadi khidmat yang merasuk menembus sukma. "Aku tak akan mengulanginya, sekarang aku jadi memfikirkan apa yang terjadi bebrapa menit lalu". 7 menit kedepan ialah misteri, hari depan ialah kegelapan. Entah misteri apa yang mulai jelas teka - tekinya, aku merasakan ada setitik cahaya. Aku tidak ingin cahaya ini padam, aku tak ingin semua menjadi gelap lagi. Ada yang menghidupkan cahaya itu, ada yang menuntunku perlahan menuju kepastian, jelas aku mulai merasakan ketenangan.

Gesekan suara mesra dari sandal bocah – bocah tadi mengingatkanku pada masa kekanak – kanakanku. Dimana aku hanya terbebani dengan dengkul yang “babak bundas” (terluka) sehingga tidak bisa ikut mandi di sungai atau mandi air hangat di sawah, air tergenang dan tersengat matahari sehingga menjadi hangat.

Pengalaman adalah guru yang bijak, seperti orang tua kebanyakan, setiap teguran tak pernah luput dengan kalimat andalan “ Bapak sama Ibu itu pernah kecil, kalau kamu kan belum pernah tua”. Namanya bocah, jika tak benar - benar mengalami hal apapun akan dicoba jika keberanian menyepakatinya. Berani atau tidak itu akan sangat menentukan untuk bocah yang mencoba melompat dari jembatan hanya untuk sekedar mandi di sungai.
Kenyataanya semua masa sudah terlewati dan berganti. Keadaan sudah tidak memungkinkan untuk berlari dan berteriak, kemudian melompat dari jembatan. Dimana teguran yang dulu tak benar – benar terfikirkan, kini menjadi guru yang seharusnya ‘digugu dan ditiru’ (menjadi tauladan).
.........
Selepas subuh, sang fajar mulai tampak keemasan menggantikan bulan, tanpa keributan tanpa perselisihan. Semua berjalan sewajarnya alam sewaktu pagi. Ayam masih mengepakkan sayap sebelum berkokok, udara masih bercampur butir embun, suasana masih seperti pagi di dunia. Jikapun berbeda, itu sangat tipis. Aku masih pada diriku sendiri, harap - harap cemas atau berdoa atau bahkan melamun. Kebetulan aku berada persis dimuka jendela, di shaff nomer 2. Dengan jelas aku bisa melihat ruangan dan sebagian dunia luar yang tampak dari muka jendela bertralis kayu jati. Disebut melamun jika orang lain sedang melihatku, disebut berfikir jika orang lain sedang mengamatiku, disebut setengah - setengah jika ada orang yang mau menyadarkanku.

"Bug.. bug.. bug.. bug.. bug". Aku melihat marbot masjid yang sedang membersihkan sajadah. Begitu teliti begitu sabar dan begitu lama aku memperhatikan. Satu, dua, tiga, empat, sajadah tergulung rapi dan diyakini sudah bersih tertidur di sebrang sajadah yang belum dibersihkan. Aku melihat, memperhatikan, begitu lama, hingga benar - benar hafal urutan cara membersihkan sajadah tersebut. Buka, pukul - pukul (kejam), semprot wewangian, gulung. Aku paling suka bagian saat memukul, aku begitu menikmatinya, hingga aku sadar marbot masjid tersebut memukul sajadah bukan karena menghukum sajadah tersebut, marbot memukul (meski terlihat kejam) merbot tersebut sedang membersihkan sajadah.Seperti Tuhan yang memberi cobaan yang berat tak lantas Tuhan sedang benar – benar menghukum umatnya. "Mulia sekali marbot itu", kataku dalam hati. Tak lama kemudian marbot pergi karena sudah selesai. Marbot masjid tersebut entah pulang, entah kemana, itu bukan urusanku.

Aku beranjak, aku berfikir jika aku sendirian pikiranku akan menjelajah dan mencari – cari apapun yang ingin aku cari meskipun tak ada kepastian. Lebih baik aku beranjak dan benar – benar mencari meskipun aku harus tidak pulang. “iyaa kepastian, ahh siapa yang peduli”.
Sawah, dan jauh dari rumah. Kembali pada lingkungan masa kanak – kanak ?, tidak Ini hanya sawah yang luas dan aku berada didekat sungai tanpa peraduan.

Nang.. nang.. Mas.. cah bagus,  permisi saya mau lewat, kok yaa duduk ditengah jalan ta, meskipun setapak dan pinggir sungai, ini tetep jalan. Tidak pantas lhoo”. Seorang ibu paruh baya mencoba mengingatkanku, yaa membangunkanku dari lamunan panjang.
“maaf bu maaf, silahkan bu’. Ehh, maaf lagi bu’, tapi maksud ibu tidak pantas itu bagaimana yaa ?”

“lhaa yaa tidak pantas, ora ilok masak duduk ditengah jalan, kalau ada yang lewat bagaimana ? yaa kalau yang lewat kelihatan kaya ibu, laa kalau tidak”. Menjelasakan dengan logat keibuan.

“hahaa ibu bisa saja, masak siang – siang ada yang tidak kelihatan mau lewat.”

“Melamun siang – siang, kan juga tidak baik. Bagus – bagus siang – siang nglamun”.

“ Hee hee”, jawabku menyadari.

“Yasudah Ibu permisi dulu”. Sembari membawa ceret dan peralatan makan. Terlihat arit terjepit di punggung, sela jarik yang melingkari perut, seperti pendekar dan seorang perempuan mengikutinya dari belakang.

Kali ini aku mencoba berfikir sembari melihat air, berfikir tentang apapun. “Jalan keluar ada setelah pintu masuk, apa aku telah masuk pada ruang kebingungan yang salah, sehingga aku harus keluar, apa aku benar - benar harus keluar.”yaa aku harus menyudahinya, tapi aku juga harus tau kenapa alasanku, alasan dibalik ruang kebingungan yang membingungkan. "Aku mulai melangkah". 

"Sejuk". Begitu indah semua terlihat begitu indah nyaman dan benar - benar manis. Pondokkan, pohon - pohon, jalan setapak dan ayam - ayam menghiasi area sawah yang begitu terlihat cukup untuk jiwa - jiwa yang mencari sebuah ketenangan hidup, atau bahkan kententraman hidup. "Aku sudah merasa lebih baik, walau sedikit”. Tiba - tiba terlintas bayang - bayang rumah, yaa aku teringat rumah dan Yumna. Hari – hari kemarin dan jam simple g – shock G – 9300 hadiah ulang tahun pemberianmu. Simple, ceria, dan elegan. Tergambar sosokmu setiap aku melihat jam yang tak pernah lepas dari pergelangan tanganku.

“Banyak orang yang memiliki jam tangan mewah, tapi hanya sedikit orang yang bisa menghargai kemewahan waktu”, pesan yang kau tinggalkan didalam boks kado, yang kau berikan dipenghujung siang dibalik jendela kamarmu. Kau didalam dan aku diluar, di muka jendala kamarmu yang dulu selalu kau bukakan untukku ketika kau ingin sekedaar bercerita denganmu atau kau ingin mendengar cerita lucuku, yang jelas ketika kau malas untuk keluar rumah. Semua tau kebiasaan itu, hingga tidak ada kejanggalan ketika kita sering bercanda dibalik jendela.

Dari pesan yang kau tinggalkan, kini aku benar – benar bisa memahami waktu, waktu ketika aku pertama kali berjumpa, waktu bermain bersama dengan teman – teman yang lain, waktu aku jatuh cinta denganmu dan waktu dimana semua itu sebentar lagi hanya akan menjadi cerita dan kenangan.

“Ahh apa hubungannya waktu dengan kenangan? andai aku bisa kembali, memberi kesempatan buatku untuk mengulangi setiap momen, keputusan, dan perjalanan. Tanpa sekalipun aku mengingat yang terjadi setelahnya. Mungkin aku akan tetap memilih mencintaimu dan membiarkan semua itu menjadi milikku dan terbang dengan doa – doa yang bersemayam pada dirimu karena lindungan – Nya.
......
Aku begitu rindu dengan Yumna, apapun tentang Yumna. Aku akan kerumahnya. Siapa tau Yumna masih mau membukakan jendelanya untukku. Untuk sekedar melihatnya, melihat wajahnya. Senyumnya, ukiran manis garis wajahnya, atau cukup dia menerimaku dengan rasa bahagia seperti beberapa tahun lalu. Aku sengaja pergi saat hari gelap dan mulai larut, waktu menunjukkan 21.33. Rumah Yumna tidak jauh dari kantor Ayahku.
.....
“Ayah, pada kemana orang – orang itu akan pergi?, kenapa mereka berbondong – bondong?, apa yang akan mereka lakukan?”. Ali kecil melihat keluar jendela, melihat sesuatu yang baru ia sadari.

“Ayah sedang berbicara pada mas Hani, Ayah jawab nanti”. Jawaban yang sedikit merenggut senyuman anak belum sd itu.

Sebagai anak yang mempunyai perasaan yang kuat, lambat laun perasaan itupun menjadi sebuah keberanian. Ali memang belum bisa berfikir kompleks, tetapi Ali masih manusia kecil yang wajar, penasaran terhadap apapun yang membuat ia tertarik, penasaran terhadap segala hal. Termasuk orang – orang itu.

Ali masih terlalu kecil untuk menafsirkan segala hal yang ada di depannya menjadi sebuah pikiran atau gagasan yang mampu meyakinkanya, bahwa apa yang dia lihat adalah sebuah wujud tatanan manusia yang benar - benar membuat dia belajar mengammati tingkah laku dengan penuh keluguan dan perasaan yang dalam. Ali melihat kedamian dari kejauhan, Ali ingin mendekat, Ali penasaran.

Ali melihat kearah Ayahnya, seakan tak mungkin jika dia kembali menanyakan hal itu kepada Ayahnya yang sedang sibuk dengan kakaknya. Rasanya tak mungkin juga, jika Ayahnya (seorang direktur) mau menuruti ajakan anaknya untuk brgabung pada orang- orang itu. Tidak ada waktu dan melupakan waktu, Ali kecil benar - benar bisa merasakan kemungkinan - kemungkinan dengan baik. Rasa penasaran atau entah rasa keingin tahuan Ali dapat diekspresikan dengan baik. Kantor selalu tak asing dengan spidol dan alat tulis, Ali mengambar dibalik gordyn di dekat jendela, Ali gambar detail dan lengkap, tergambar suasana yang begitu gembira, karena Ali menyertakan senyuman pada wajah orang - orang itu. Ada sedikit pohon dan bangunan yang menyertainya. 

"Ali.. Ali.. Ali..", panggil Ayahnya,

"Kemana pergi adhikmu tadi Han?, apa kau melihatnya?" tanya Ayahnya kembali.

Pencarianpun terjadi, kesana kemari, orang - orang sekitar ruangan tak melihat sesosok imut yang keluar dari ruangan direktur. Sekretaris, dan para staffpun tanpa sadar ikut terrepotkan oleh ketiadaan Ali di dalam ruangan Ayahnya (direktur).
"Ayah, apakah Ali sedang berada ditempat itu?", Hani menunjuk sebuah bangunan yang terletak di pojok belakang gedung Ayahnya.

"Mengapa demikian Han?", Ayahnya mencoba mencari penjelasan.

"Apakah Ayah ingat yang ditanyakan Ali tadi?",Ayahnya menggeleng.

"Lihatlah gambaran ini Yah, Ali menggambar tempat dan orang - orang yang berada disana.". Hani meyakinkan.

"Pantas kau masuk SMP unggulan, kau cerdas nak", kata Ayahnya bangga, tersenyum dan mengelus kepala Hani.
"Mila.. mil", direktur memanggil sekretarisnya.

"Iya Pak, maaf ada apa memanggil saya?"

"kemarilah, pergilah ketempat itu, coba cek Ali sedang disana atau tidak, segera kabari saya".

"Baik pak,", jawab Mila.

Siang semakin menjadi - jadi, tatapan panasnya menembus jiwa bagi orang - orang yang mengabaikanNya. Akan tetapi, tidak untuk beberapa orang yang masih tinggal sejenak, diantara gedung - gedung tinggi dan beberapa pohon yang mengitari halaman sekitar, tidak luas tapi cukup untuk sebuah arena anak seumuran Ali bersenda gurau atau sekedar bermain kelereng dan jamuran. Di tempat itu matahari tidak benar - benar tembus, tercipta suatu keseimbangan antara suasana yang eyup dan terang. Terlihat beberapa orang paruh baya sedang mengistirahatkan siangnya, beberapa anak di halaman sedang melingkar sedang bermain jamuran, laki - laki perempuan jadi satu, seru dan banyak tawa. Tempat itu adalah mushola, berdiri diantara kemewahan namun tetap gagah dengan kesederhanaan.

Terlihat Ali berada diantara bocah - bocah itu, ikut tertawa seolah sudah lama kenal. Ali bisa menyesuaikan karena semua diantaranya seumuran, senada dan seirama, tak mengenal latarbelakang, mereka berkumpul, bercanda, bermain atas dasar keluguan tanpa beban. Di situlah Ali pertama kali melihat sosok Yumna, mengenal sosok Yumna, kenal karena saling olok tanpa jabat tangan tanpa tatapan khusus. Diantara bocah - bocah yang lain Yumna memang gadis kecil yang aktif, riang, dan pandai sekali bercerita, senyumnya manis, cita - citanya jadi Guru.

"Hallo pak, benar Ali berada ditempat yang dimaksud, sekarang Ali sedang bermain dengan bebrapa bocah di depan mushola", dari kejauhan Mila mengabari direktur (ayah Ali).

"Syukurlah, awasi dia, sebelum gelap ajak dia kembali ke ruangan saya", jawab Ayah Ali.

"Baik pak.". Katanya kalem.

Sejak saat itu Ali berteman dengan Yumna, meski tidak ada yang tahu diantara teman sepermainan bahwa Ali adalah anak dari pemilik perusahaan didekat mushola biasa mereka bermain. Yaa di desa Yumna.
......
Tepat 22.33 Aku sampai dimuka jendela kamar Yumna. “Demi rasa rindu, aku mengendap, dan mengendus bagai maling. Tetapi, aku tidak akan mencuri apapun, aku tidak akan mengambil apapun aku hanya rindu, yaa demi rindu aku sedikit gila, untuk berekspresi, ini gila”, gumam ku dalam hati.

Dengan modal lampu handphone aku berhasil menemukan lubang yang tidak pernah berubah sedari dulu. “yaak, aku menemukannya”

“Ruang begitu gelap, apakah Yumna sudah tidur ?, ahh tidak biasanya dia tidur gelap gulita tanpa sedikitpun cahaya”. Masih mencari kemungkinan.
“ahh atau mungkin Yumna sedang keluar, yaa barangkali dia belum pulang”. Sembari melepas harapan dan terduduk dibawah jendela kamar Yumna. Dengan raut kecewa dan sedikit tidak percaya.

“Astaghfirullahhaladzim, astaga, ini mati lampu, kenapa aku baru sadar, ahh rindu memang buta”. Sadarku dengan harapan yang mulai tampak.
11.33 terlihat lampu pojok rumah sudah kembali bercahaya. “semoga Yumna belum tidur”, pikirku.

Kembali aku mencoba meraih setitik lubang dijendela, terlihat Yumna belum tidur, baru saja Yumna masuk kamar sembari membawa gelas berisi air putih dengan tutup gelas berwarna merah, “ahh bukan itu orange”.

“Yums, yums, yums, sssssst, sssssst, disini, dibalik jendela.”
Terlihat Yumna sedikit keheranan dan bingung, mungkin bercampur sedikit takut. Yumna mendekat.

“Yums, aku Ali....”

“Ali kenapa malam – malam seperti ini kau kemari ?”. jawab Yumna.

“Yums, ini sudah malam tak mungkin aku lewat pintu depan, apa kau sudah lupa dulu kita sering seperti sekarang ini, disini?”

“Tidak, tapi kenapa kau menghilang ? selama ini kau kemana? Selepas SMA, kenapa kau benar – benar tak mau kamari lagi ? sedikitpun aku tak merasa benci terhadapmu setelah aku tau kedok hitam dibalik wajahmu. Memang semua teman kini merasa benci terhadapmu, setelah tau siapa kau sebenarnya, dan tau apa yang telah perusahaan ayahmu lakukan terhadap desa ini”. Yumna berbicara dibalik jendela yang masih tertutup.

“Maafkan aku yum, aku kemari karena benar – benar ingin bertemu denganmu, apa tidak boleh ?“.

“Hanya sekedar ingin bertemu ?”, susul Yumna.

“Aku tidak berubah yum, aku masih Ali yang dulu, aku tidak pernah berubah, masih dengan seperangkat rasa yang pernah ku nyatakan kepadamu, sedikitpun tak pernah berubah”.

“Ali Pulanglah ini sudah malam”. Balas Yumna.

“Tap.. tapi.. kenapa yum ?, ada apa ?”.

“Benar memang, ketika kau menyatakan selepas kelulusan SMA itu, aku hanya tersenyum dan kemudian berlari, aku tak menjawab apapun, karena tanpa menjawabnya pun kau sudah tau apa jawabanku, tapi sekarang keadaan sudah berbeda, selepas semua orang tau siapa Ali sebenarnya”. Jawab Yumna.

“Yum...”

“Ali pulanglah, datanglah besok selepas siang, ba’da ashar, temui bapak, katakan yang seharusnya kamu katakan dan katakan apa yang sebenarnya kamu inginkan”.

“Yum...”

“Pulanglah  atau akan kupanggil bapak sekarang!”, Yumna sedikit mengancam dengan sedikit terbata – bata. (haru)

“Assalammualaikum.. aku pulang”.

Entah seberapa besar keributan yang terjadi sepeninggalku stelah lulus SMA. Aku pergi kuliah di Jogja dan Yumna tetap tinggal di Bogor, yaaa Yumna kuliah di jurusan pertanian. Meski tidak sesuai dengan cita – citanya, setidaknya dia sekarang mengabdi untuk negara dengan menjadi pegawai pertanian dan aktivis peduli lingkungan. Aktivis yang melawan pembangunan proyek besar – besaran di lingkungkan tempat tinggal Yumna. Direktur utama perusahaan pemilik proyek tak lain adalah ayahku, dan ayahku telah menghancurkan mushola, yang digunakan sebagai tempat ibadah penduduk sekitar kantor, pegawai kantor, ayah Yumna, tetangga Yumna, teman – teman sepermainanku dan mushola tempat pertama kali aku bertemu dengan Yumna.

“Apakah aku esok berani datang kemari ?, ahh ini taruhan bagi diriku sendiri”.

Jika esok aku tak datang, banyak kemungkinan yang akan terjadi. Garis besarnya, aku tidak akan pernah tau apa yang sebenarnya terjadi, apa aku masih diterima oleh keluarga Yumna atau tidak, dan yang jelas apa aku pantas bersanding dengan Yumna. Jika aku datang, pilihan satu – satunya hanya ikhlas. Ikhlas menerima apapun yang terjadi, dicaci maki dan ditolak mentah – mentah.

“Aku bisa taklukan hati dengan sebuah senyuman”. Aku coba menghibur diri.
.....
Hari ini aku mencoba memberanikan diri untuk datang dan menanyakan apapun tentang Yumna. Aku berpikir ini akan membuatku lebih terbuka melihat suatu hal dan lebih ikhlas menerima keputusan. Keputusan bulat Yumna dan masadepannya. Aku pulang, dan masih begejolak. Yaa bergejolak,semua itu berkumpul pada satu ruang hingga ruang itu membuat saya merasakan pahit seperti kopi tanpa gula, entah saya lupa memberi gula, atau memang tidak ada gula untuk kopi saya, saya merasa terlalu pahit untuk menghabiskannya, tapi rasanya tak mungkin jika aku hanya membiarkannya sia - sia.

Terdengar lirih alunan cannon in D major yang bersumber dari ujung ruangan sebelah. "Phacelbel, yaa ini milik Phacelbel", hati bergeming saat suasana diluar sedang hujan tapi tidak deras, bukan badai bukan juga gerimis. Lagu berganti 5th symphony -  Mozart, "mengapa hujan semakin deras, mengapa lagu yang terdengar seirama dengan hujan diluar?, sudahlah, ada apa dengan Yumna? kenapa tak terbalas?, ahh mungkin setelah hujan reda!, Ali beranjak dan mulai membukanya, Max Havelaar - Multatuli. "Aku mencoba untuk berbuat baik, berekspressi tanpa menyakiti", kata Ali yang mulai bimbang dengan keadaanya sendiri. Dalam hatinya mencoba menghibur dan memperbaiki pikiran atas kata - katanya sesaat tadi. "Trriiiiiiing!", tegas dan mengagetkan, bunyi handphone jadul tahun 90'an. "Maaf, mungkin aku tidak bisa menerimamu dengan perasangka yang baik sebelumnya, kau orang yang baik dan tulus, kau sempurna. Tetapi, aku tak bisa denganmu. Kekuranganmu terlalu sempurna untukku sempurnakan. Ali maafkan apapun atas petemuan tadi, dengan bapak dan ibu tadi. Maaf aku tak bisa denganmu!". Terdengar 5th Syhmpony - Beethoven. Ali terdiam.

Angin berhembus pelan dari jendela didepan Ali, bercampur butir air sedikit membasahi gordyn yang terpasang rapi ditempatnya. Ali hanya menatap kosong, perasaan yang hampir tidak bisa dipercaya, Yumna tiba – tiba mengirimkan pesan yang menurut Ali tak seharusnya dikirimkan kepadanya, Ali masih menatap kosong dan tak kunjung bertindak. “Aku tidak bisa membalas pesannya, terlalu berat bagiku”. Ali mencoba menguatkan batin yang sempat tersendak pesan singkat. “Yumna sudah membuat keputusannya, Ahh itu bapak Yumna. Biarkan aku tetap mencintainya”. Kemudian Ali beranjak dan menutup jendela, karena angin semakin besar, semakin menjadi – jadi.
.....
Sepeninggal ayah, mau tidak mau aku harus pulang dan melanjutkan perusahaan karena mas Hani tidak memungkinkan setelah mengetahui penyakit apa yang dideritanya. Yaa, aku menjadi direktur utama perusahaan ayahku. Melanjutkan gawe dan memimpin proyek besar – besaran yang memakan sebagian desa Yumna dan teman – teman kecilku tinggal.
Didesa itu, secara langsung dan tidak langsung ayahku telah meninggalkan banyak luka bagi warga yang tinggal. Halal dan resmi memang proyek yang selama ini dijalankan. Akan tetapi, pembangunan dan pengerjaan proyek seakan tidak memperhatikan ekosistem, kondisi budaya, dan masa depan warga desa yang tetap tinggal. Ayahku meninggal dengan urusan yang sepenuhnya belum selesai, aku harus membayarnya.

Kurun waktu 4 tahun segala sesuatu urusan pembangunan proyek telah terselesaikan. Mega proyek dan segala sangkut paut telah terlalui dengan kesan yang sempurna. Meski tak mudah, semua terlewati dengan lancar dan berakhir dengan kebaikan. Aku menghabiskan tabungan pribadi ayahku untuk mengembalikan keseimbangan ekosistem yang telah hancur karena pembangunan proyek, dan sisanya aku gunakan untuk membangun segala infrastruktur perangkat desa yang terpaksa dihancurkan untuk kepentingan proyek. Bagaimana dengan mushola ?. Yaa, aku membangun masjid sebagai pengganti mushola yang telah dihancurkan. Desa itu secara hukum sah apabila dibangun sebuah masjid, karena jarak desa yang sebelumnya digunakan sebagai rujukan ketika sholat Jumat telah tersekat oleh proyek yang melintang, dan membuat jarak cukup jauh antara desa. Masjid Ay Yumna namanya, yang bermakna sebuah keberuntungan. Akan tetapi bagiku, masjid Ay Yumna lebih dari keberuntungan. Yumna adalah seorang yang tinggal di desa, dimana masjid itu berdiri. Yumna adalah cinta yang tak mampu ku kejar di dunia, Yumna adalah kekasihku dalam angan, Yumna adalah syhmpony yang membuatku lebih tenang. Yumna adalah waktu yang tak akan pernah mati didalam hidupku.    

“Ay Yumna, kau begitu anggun, dan indah”, sembari aku menatap masjid. 
“Aku sayang kepadamu, Aku cinta kepadamu, akan tetapi Allah lebih sayang dan cinta kepadamu. Kau dijodohkan, dan kau pergi tepat sesaat sebelum ijab kabulmu, aku tak pernah merasa beruntung karena pada akhirnya kau tidak dengan siapa – siapa. Mungkin aku akan hancur dan tidak akan seperti sekarang ini apabila aku adalah laki – laki yang berada disampingmu waktu itu”. gumamku dalam hati (masih menatap masjid).

Ibarat kopi tanpa gula, kau bukan gula yang lupa tak ku masukkan dalam larutan kopi yang kubuat. Kau bukan juga kopi yang terasa pahit ketika diminum, kau bukan juga air panas yang tak bisa disalahkan. Kau, yaaa benar kau Yumna, kau adalah makna didalam kopi tanpa gula itu. Kau adalah makna dan rasa dibalik pahit kopi tanpa gula. Kau adalah rasa yang hadir sebagai pembeda didalam kopi itu. Kau adalah cinta didalam kopi tanpa gula.
“Semoga kau menjadi bidadari surgaku kelak”. Sambil menghabiskan sruputan terakhir kopi didalam cangkir kecil.


"Aamiin.."

Jakarta - Jogja 2017

5 Sebuah Catatan: Kopi Tanpa Gula Pagi ini beberapa kali aku tersendak oleh kopi yg aku buat sendiri. Terlihat biasa memang, akan tetapi ada yang berbeda se...

5 komentar:

< >