+ -

28 Januari 2018

Sempurna









Kesempurnaan. Sebuah kata yang mendiami altar ambisi, diimpikan setiap manusia, dari langkah pertama hingga napas penghabisan. Ia bukan sekadar janji keberhasilan, melainkan tujuan utama yang tak berbatas di balik setiap tindakan nyata, baik itu misi yang menyangkut diri sendiri, martabat hidup, bahkan cita-cita tertinggi sebuah negara. Sempurna, ia melekat pada keberhasilan, sebuah harapan yang selalu didamba, entah di awal, di tengah, atau di ujung sebuah perjalanan.

Namun, bagi sebagian orang, ia hadir dalam bentuk yang paling sederhana, bahkan paling absurd.

“Jo, kenapa senyum-senyum sendiri?” Suaraku memecah keheningan.

Paijo tak bergeming. Ia meneruskan senyumnya yang terlampau lapang, senyum seorang pelaut yang baru menemukan daratan. Kadang disusul tawa kecil, kadang dengan kibasan tangan, seolah ia adalah konduktor orkestra rahasia dalam keheningan panggung. Melihatnya, aku pun ikut tersenyum. Bahagia, memang, selalu mudah menular.

“Aku sedang mendengarkan lagu 'Perfect', Nun,” jawabnya, matanya menerawang.

“Sesempurna apa lagu itu, Jo? Apa yang kau bayangkan sampai kesempurnaan itu hinggap di wajahmu?”

Ia menghela napas, napas seorang pujangga yang baru saja menemukan ilham. “Aku membayangkan bilamana aku dapat berdampingan dengan dirinya. Lagu ini, dan klip videonya, terasa begitu pas dengan judulnya. Aku hanyut, Nun. Dan tentu saja, aku tidak hanyut sendirian. Aku menyertakan ‘dia’ dalam lamunan yang sempurna ini.”

Kesempurnaan. Ia bisa menjadi wadah terindah untuk membungkus keberhasilan, atau sehelai tipis harapan yang ditiupkan ke udara. Paijo baru sebatas membayangkan dunia asmaranya, dan garis senyum di wajahnya sudah seluas cakrawala.

Bagaimana jika yang ia idamkan bukan sekadar seorang perempuan, melainkan misi besar, seperti memenangkan pemilihan presiden atau, lebih absurd lagi, mengubah tatanan dunia ini? Dunia macam apa yang akan dihendaki dalam mimpi kesempurnaan seorang Paijo, yang baru membayangkan kekasih saja sudah sesumringah itu?

Selalu saja, Kesempurnaan berada di ambang bayang-bayang. Ia adalah pesawat kertas yang baru mengudara, yang bisa saja terbang tinggi dan mendarat mulus sebagai kenyataan, atau terus melayang tanpa arah. Bahkan, tak jarang ia meledak seketika saat baru lepas landas, kembali ke tanah bukan dalam wujudnya semula, melainkan sebagai puing-puing tuntutan dan ambisi yang hampa.

Kesempurnaan tidak akan menjadi sempurna, Nun, jika ia dijauhkan dari sempurnanya diri sendiri untuk menyadari di mana dia sedang berdiri. Sebuah impian hanya akan menjadi bayang-bayang jika bayang-bayang itu tidak memiliki ruang yang diisi dengan sekat-sekat kesadaran dan tekad yang matang.

“Lalu, apa yang akan kamu lakukan setelah lagu itu usai, Jo? Selain mengulangnya lagi?”

Paijo mematikan ponselnya. Ia mengusap wajahnya, sebuah ritual kecil membersihkan diri dari sisa-sisa lamunan. "Kalau sudah selesai, ya sudah Nun. Matikan lagunya, lalu kita ucapkan: 'Aamiin!'"

"Siapa tahu…." lanjutnya, matanya kembali berbinar, "memimpikan yang sempurna itu menjadi doa. Siapa tahu, mimpi yang sempurna itu jadi nyata."

Kami tersenyum, serempak berucap, “Aamiin.”Kemudian, dengan kesederhanaan yang mendadak nyata, Paijo bangkit dari lamunannya dan mengajakku menyiram bunga mawar di sawahnya.

Jogja 2018


5 Sebuah Catatan: Sempurna Kesempurnaan. Sebuah kata yang mendiami altar ambisi, diimpikan setiap manusia, dari langkah pertama hingga napas penghabisan. Ia b...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

< >