+ -

12 Februari 2019

Jauh Hanya Soal Jarak




Halaman belakang rumah tampak basah setelah hujan. Matahari sore kembali menunjukkan sorot kodratnya. Masih ada beberapa jengkal waktu sinar matahari sampai ke bumi. Fatimah tampak begitu memperhatikan Ainun duduk agak jauh didepannya. Sedang Ainun masih meresapi hisapan batang rokok terakhirnya.

"Mas, kenapa banyak orang terkesan dengan hujan dan senja?"

"Itu sama seperti, kenapa kamu masih bersamaku?"
"Sejauh itu mas jawabannya"
"Orang-orang mengetahui hujan dan senja, tidak semua orang mengetahui penyebabnya"
"Waktu?"
"Benar" 

Ainun berdiri dan beranjak duduk disamping Fatimah, diantara mereka ada buku, gelas dan botol air mineral. Ainun menuangkan air kedalam gelas lalu meminumnya.

"Mas apa aku siap? apa mas juga siap?"

"Apa yang perlu disiapkan Fatimah? Apa aku perlu mempersiapkan sesuatu yang besar untukmu?"
"Bagaimana dengan kemungkinan-kemungkinan mas? Apakah puisi-puisi tentang hujan dan senja juga akan terangkai menjadi elegi?”

Fatimah tampak risau, terlihat dia coba memeras tangannya sendiri. Tidak tampak sedikitpun keraguan. Wajah kekhawatiran jelas lebih terlihat daripada keraguannya dengan keadaan. Sesuatu yang akan terjadi, sesuatu yang akan dijalani, sesuatu yang tampak berada di sudut sisi paling jauh. Seakan semua akan begitu juga berlalu. Fatimah sangat khawatir.

"Fatimah...

.. Kelak huruf akan terangkai menjadi kata,kalimat menjadi buku, buku hancur ibarat abu. Sebagaimana kita hanya tersisa sebagai cerita"
"Apa kita bisa menentukan akhir cerita kita sendiri?"
"Tidak, kita hanya tau bahwa kita akan jadi abu"

Fatimah kembali terdiam, ia menatap kekasihnya itu dengan penuh pertanyaan yang sepertinya hanya bisa ditahan.

"Kau tau Fatimah kenapa hujan tampak begitu suram saat mendung dan terasa lega ketika reda?..
.. apa kau tau juga berapa jauh jarak matahari dari bumi? hingga sinarnya tidak mau kehilangan momentum sore sedikitpun sesaat hujan telah reda."

Fatimah hanya diam dan menatap dalam wajah kekasihnya itu.

"Bisa saja kita tak merasakan apapun, sadar betul bahwa suramnya mendung dan leganya saat terang itu hanya soal momen, momentum dimana aku tidak harus berbuat apapun saat ini. Momentum aku harus segera menjumpaimu sebelum basah. Hujan pasti akan berlalu. Menyadari proses, bahwa datang dan pergi itu hakiki.."
"Tapi aku tak mau mas pergi?"
"Bukankah kau yang akan pergi?"

Fatimah menunduk.

"Matahari punya sifat gigih, jika diizinkan. Sejauh apapun jarak sampai kebumi, sesedikit waktu yang tersisa cahaya tetap sampai kebumi..
.. jauh hanya soal jarak Fatimah"
"Apa momentum akan tetap selalu membawaku padamu mas?"
"Waktu akan membuat segalanya terasa dekat, perjumpaan kita hanya akan tertunda"

Matahari sekejap telah terbenam, tersisa cahaya-cahaya jingga yang sebentar juga akan berubah menjadi malam. 

Semua berlalu pagi terbit hingga sore terbenam terus berulang. Cahaya telah sampai kembali ke bumi, kadang panas kadang redup. Mega-mega mendung sesekali berkumpul, meski kemudian berlalu. Kabar itu tak pernah datang lagi, air tak pernah lagi sampai ke bumi. Gersang kini telah menjadi bagian dari hari-hari tanpa hujan, tanpa kabar, tanpa tanda-tanda kepastian. Selama apapun itu hujan akan datang. Sejauh itu jarak langit ke bumi, air pasti akan turun ke bumi. Gersang karena panas, kering karena penantian. Harapan memenggal dan mengacaukan semuanya. Tapi tetap saja, jauh hanya soal jarak, jauh hanya soal jarak!



Jakarta 2019 



5 Sebuah Catatan: Jauh Hanya Soal Jarak Halaman belakang rumah tampak basah setelah hujan. Matahari sore kembali menunjukkan sorot kodratnya. Masih ada beberapa jengkal waktu si...

1 komentar:

< >