
"Manakala kapitalisme diusir keluar dari pintu, ia akan masuk kembali lewat jendela!"
Aku membantah dengan penekanan.
"Memang seperti itu, dan Kapitalisme merupakan sebuah kewajaran. Lebih dari itu, Kapitalis harus ada dimana saja. Kapitalisme adalah solusi. Sosialis? mau kau biarkan saja orang-orang yang tidur dibawah kolong jembatan itu? Sewajar itukah WC umum dirusak karena berlabel gratis? saya kira kapitalisme diperlukan di semua sektor, bahkan segala penjuru komponen kehidupan."
"sepertinya Kapitalisme sudah mendarah daging padamu Fatimah? Aku tak mau melihatmu sakit karena virus berbahaya ini."
Jakarta merupakan kota yang penuh kunang-kunang semu. Satu dua ekor kunang-kunang dilepas bebas, mereka akan bergandengan pada mulanya. Setelah tau Jakarta lebih gemerlap daripadanya, satu diantara dua ekor itu akan memilih mati, atau tak mau lagi meneruskan rencana perkembangbiakan karena dia harus pamit dan benar-benar pulang. Di satu sisi yang lain, memilih untuk melanjutkan ambisi, mencari jati diri bahwa "Aku lebih gemerlap daripada kota ini". Ambisi dilanjutkannya sendiri, kunang-kunang itu tetap hidup, meski sekalipun Jakarta padam, ia masih kalah masyhur dari kerlap-kerlip lampu kota ini. Dia tetap hidup, tetap tak tau diri padahal lalat-lalat sampah sudah menganggap dirinya sama dengan mereka.
Hari itu Jakarta mendung tapi tak kunjung hujan. Kilat beberapa kali terlihat di sebelah utara Jakarta. Jam menunjuk pukul 20.33 Tiga jam sudah mendung gelap tak mau menyingkir. Terlihat lampu pojok belakang rumah berkedip-kedip.
"Apa tujuan dari kapitalis sepertimu di negara ini? Punya korelasi dengan pekerjaanmu? atau sudah menjadi tuntutan hidupmu Fatimah?"
"Bukankah aku sudah sering mengatakannya mas? meski tak benar-benar aku tekankan bahwa itu adalah tujuan yang benar-benar besar dari hidupku dan untuk negara ini. Kapitalis tak mesti seorang matrealis.”
"Ya. Tapi negara ini tidak hanya soal pertumbuhan dan keuntungan Fatimah!"
".. Masih ada moralitas bukan? Mas bilang bahwa sosialis tak selalu ada hubungannya dengan Komunisme. Semua akan menjadi wajar ketika penindasan tidak dilakukan apalagi tidak bersinggungan dengan kepentingan matrealis. Sekarang, mau berpandang kemana setelah 'Kerajaan Setan' itu runtuh?"
"Role model memang kadang diperlukan untuk memperkuat argumen, tapi bagaimana soal jati diri? bukankah kita bisa membentuk idealisme tanpa harus berpandang ke satu arah? Ini soal sistem Fatimah. Moral akan terbentuk dan dapat juga di bentuk dengan menyingkirkan tujuan keuntungan. Keuntungan akan datang tanpa politisasi keadaan. Keadaan menentukan sikap, sikap menentukan keadaan."
"Jangan bicara politik, ini soal aku dan kamu, mas.. "
"Aku berpolitik untuk cinta, tapi aku tidak menyertakan kapitalisme dan sosialisme. Ini soal cinta, politik itu kenyamanan."
Tak ada serangga yang mengitari lampu redup. Kenapa gemerlap malam di Jakarta tak sedikitpun memberi kesempatan seseorang untuk bercakap dan saling dekat. Tolonglah, romantislah sedikit. Kunang-kunang telah menjelma lalat, binatang-binatang produk kapitalisme Jakarta mulai menampakkan diri. Tak ada nyamuk berdenging. Nyamuk memilih senyap dalam beraksi. Tikus-tikus got sudah begitu akrab dengan bau manusia. Tak mengenal tempat, tak mengenal waktu. Namun, tikus tetap tikus.
Suasana hening, angin menyapu daun-daun pohon bunga kamboja, satu bunga kamboja lepas dari tangkainya jatuh, namun tak sampai ke tanah.
“Moralitas bukan soal kapitalisme atau sosialisme semata, moralitas menentukan sikap dan arah pandangmu. Bukan kapitalisme namanya, jika arah pandangmu hanya berdasar pada pertumbuhan lajumu sendiri. Kapitalisme tidak akan mengusik apapun, jika laju pertumbuhan yang kau maksud hanya berjangka umur manusia. Kapitalisme dapat membawa pada masa kejayaan apabila tak ada monopoli egosentris disana. Kapitalis adalah rencana besar, wujud jangka panjang. Disisi lain sosialisme dapat mengontrol jati diri, untuk tetap ingat bahwa suatu kejayaan akan lebih bermartabat bila semua khalayak dapat merasakannya.”
“Tapi mas faktanya...”
“Fatimah...
Fakta hanyalah pemantik orang mencari makna."
Kembali hening.
“Ya mas..
Kita ini lemah, kita tidak tahu apa yang seharusnya kita tahu.”
Realita mulai menumbuhkan perasaan depresif, kunang-kunang akhirnya berbalik arah mengetahui idealismenya yang sulit dipercaya di Jakarta dengan cukup pembuktian, lalu pragmatisme yang harus dihadapi mendistraksi dirinya untuk kembali pulang. Dalam perjalanannya, kunang-kunang yang pulang bertemu kunang-kunang yang mencoba pulang. Mereka bertemu di persimpangan kegelisahan. Mereka menatap saling memahami, kemudian tersenyum dan kembali berjalan berdua. kunang-kunang tak akan mungkin terbang dengan satu sayap. Melangkah dengan satu kaki, bukan berjalan namanya. Tak mungkin juga berlari.
Seperti jalan tol yang komponen trek terdapat lajur kiri dan kanan. Semua trek dibutuhkan untuk membuka kemungkinan dan kesempatan. Fatimah kekasihku percaya akan kapitalis dan saya seorang sosialis. Kami dipertemukan di sistem birokratis dan segala bentuk cinta yang bernama pemerintahan. Semua akan seimbang jika kiri dan kanan ditempatkan pada kapasitas dan cita-cita yang besar. Bukan untuk diri sendiri. Tapi, nantinya akan kembali juga pada diri sendiri.
Makassar 2019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar