+ -

13 Juni 2019

Sayap kunang - kunang





"Kapitalisme itu, Mas, ia serupa arwah gentayangan. Kau usir ia melalui ambang pintu, niscaya ia akan menyelinap kembali melalui celah jendela."

Aku menghela napas, mencoba menegaskan penolakan itu dengan nada yang menuntut. Fatimah, kekasihku, tersenyum tipis di hadapanku, sebuah senyum yang menyimpan pemakluman sekaligus keyakinan diri yang tak goyah.

"Ah, Mas. Ia bukan hanya keniscayaan; ia harus merasuk ke mana-mana, sebab tanpa kapitalisme, siapa yang akan menyediakan solusi bagi kegelisahan dunia?" balasnya tenang. "Sosialis, katamu? Tidakkah kita terlalu naif membiarkan jiwa-jiwa teronggok beku di bawah kolong jembatan hanya demi idealisme yang tak terawat? Saya kira kapitalisme mutlak diperlukan di setiap sendi, harus merasuk ke segala penjuru komponen kehidupan, Mas."

"Sepertinya Kapitalisme sudah terlalu mendarah daging, Fatimah. Aku hanya tak ingin melihatmu terserang oleh virus berbahaya yang kelak menjangkiti nurani."

Jakarta, kota yang kita tinggali, sesungguhnya hanyalah sebuah metropolis yang menyembunyikan pendar kunang-kunang semu di balik gemerlapnya. Coba saja kau lepaskan sepasang, mereka akan saling menggandeng, mencari kawan. Namun, betapa kejamnya, begitu mereka menyadari gemerlap kota ini jauh melampaui pijar diri mereka, salah satu jiwa akan memilih mati, atau berpamitan untuk kembali ke asal. Sementara yang lain, yang teguh, akan memilih melanjutkan ambisi, mencari absah diri bahwa, "Aku lebih gemerlap daripada kota ini!" Kunang-kunang itu terus hidup, tapi ia tak lagi mengenal martabat; lalat-lalat sampah pun telah mengabsahkannya sebagai sebangsa.

Hari itu Jakarta didera mendung pekat yang tak kunjung pecah, tak sudi menumpahkan tangis. Kilat sesekali terlihat menyambar di sebelah utara. Jarum jam menunjuk pukul 20.33. Tiga jam sudah langit gelap tak mau menyingkir, sementara lampu di pojok belakang rumah berkedip-kedip, seolah mengidap dilema yang sama.

"Lantas, apa sesungguhnya orientasi utama seorang kapitalis sepertimu di tubuh negara ini, Fatimah? Apakah ia murni berkorelasi dengan pekerjaanmu, atau sudah menjadi panggilan batin yang tak terhindarkan dalam hidupmu?" tanyaku.

"Bukankah sudah kerap kusebutkan, Mas? Meskipun tak benar-benar kutekankan bahwa itu adalah tujuan hakiki dari hidupku atau bagi bangsa ini. Kapitalis tak harus menjelma menjadi seorang materialis.”

"Namun, negara ini tempat kita berteduh tidak hanya dibentuk oleh ihwal pertumbuhan dan keuntungan, Fatimah!"

".. Kita masih punya moralitas, bukan? Mas selalu bilang sosialis tak selalu berkait dengan Komunisme. Semua akan menjadi wajar ketika penindasan sirna, apalagi jika tidak bersinggungan dengan kepentingan materialis. Setelah 'Kerajaan Setan' itu karam, Mas, hendak ke mana arah pandangmu sekarang?”

"Teladan memang acap diperlukan untuk memperkuat dalil, tapi bagaimana soal esensi diri? Bukankah kita bisa mengukir idealisme tanpa mesti berpatokan ke satu kiblat? Ini soal sistem, Fatimah. Moral akan terbentuk, dan dapat pula dibentuk, dengan menyingkirkan tujuan meraup keuntungan. Untung, percayalah, akan datang tanpa politisasi keadaan. Sebab, keadaan menuntun sikap, dan sikap pada gilirannya menentukan keadaan."

"Usah jauh-jauh bicara politik, Mas. Malam ini, ini ihwal kita, engkau dan aku saja..."

Aku terdiam sejenak, menatap matanya di balik cahaya lampu yang gelisah itu. "Aku berpolitik untuk cinta, Fatimah. Tapi di dalam cinta itu, aku tidak menyertakan kapitalisme maupun sosialisme. Ini adalah soal cinta, dan politik hanyalah payung bagi kenyamanan kita."

Tiada serangga yang mengitar nyala lampu yang sayup itu, seolah gemerlap malam Jakarta begitu kikir, tak sudi memberi ruang bagi keintiman kami. Kunang-kunang telah menjelma lalat; fauna produk kapitalisme kota mulai menampakkan diri. Nyamuk memilih senyap dalam beraksi, tak lagi menyuarakan dengung. Tikus-tikus got sudah begitu akrab dengan aroma manusia, tak mengenal strata, tak mengenal waktu. Namun, pada hakikatnya, tikus tetaplah tikus.

Suasana hening. Angin menyapu helai daun pohon bunga kamboja. Sepucuk kamboja gugur dari tangkai, melayang perlahan, namun tak sempat menyentuh pertiwi.

“Moralitas bukan sekadar perkara kapitalisme atau sosialisme," aku melanjutkan. "Moralitas menentukan sikap dan cakrawala pandangmu. Ia bukan kapitalisme, jika cakrawala pandangmu hanya berdasar pada laju pertumbuhanmu sendiri. Kapitalisme tidak akan mengusik apa pun, jika laju pertumbuhan yang kau maksud hanya berjangka umur manusia. Kapitalisme dapat membawa pada masa kejayaan apabila tiada monopoli egosentris di sana. Di sisi lain, sosialisme dapat mengontrol esensi diri, untuk tetap ingat bahwa suatu kejayaan akan lebih bermartabat bila semua khalayak dapat merasakannya.”

“Tapi Mas, faktanya di lapangan...”

“Fatimah... Percayalah, fakta hanyalah pemantik yang merangsang hasrat manusia akan makna, bukan makna itu sendiri."

Hening merayap kembali, lebih pekat dari sebelumnya.

“Ya, Mas... Kita ini memang makhluk fana dan lemah. Kita tidak tahu apa yang seyogianya kita tahu.”

Realitas, perlahan, menumbuhkan gema depresif dalam batin. Kunang-kunang akhirnya berbalik arah, menyadari idealismenya yang sulit diyakini di Jakarta. Pragmatisme yang menghimpit mendistraksi dirinya untuk kembali pulang. Dalam perjalanannya, kunang-kunang yang pulang bertemu kunang-kunang lain yang juga berupaya pulang. Mereka bersua di persimpangan kegelisahan, saling bertatapan, merayakan pemahaman yang bisu. Lantas mereka tersenyum, kembali mengarungi jalan berdua. Sebab, Fatimah, kunang-kunang mustahil terbang dengan hanya satu sayap. Melangkah dengan satu kaki, itu bukan berjalan, apalagi berlari.

Seperti jalan tol yang memiliki trek lajur kiri dan kanan. Kedua trek itu dibutuhkan untuk membuka kemungkinan dan kesempatan. Fatimah, kekasihku, teguh pada kapitalis, dan saya seorang sosialis. Kami dipertemukan di labirin birokratis dan segala bentuk cinta yang bernama pemerintahan. Semua akan mencapai timbangan yang seimbang jika kiri dan kanan ditempatkan pada kapasitas dan cita-cita yang besar. Bukan untuk kepentingan diri sendiri. Meskipun demikian, pada akhirnya, ia akan kembali juga kepada diri sendiri.

Makasar, 2019
5 Sebuah Catatan: Sayap kunang - kunang "Kapitalisme itu, Mas, ia serupa arwah gentayangan. Kau usir ia melalui ambang pintu, niscaya ia akan menyelinap kembali melalui ce...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

< >