+ -

24 Oktober 2025

Gelombang Terakhir



Kekasih,
aku menulis rindumu di antara frekuensi radio yang sudah kehilangan siaran,
di sela gumam penyiar tua yang masih menyebut nama-nama kota
yang tak lagi ada di peta.

Barangkali di sana,
angin masih membawa kabar dari gang sempit tempat kita pernah berdebat
tentang siapa yang lebih dulu diciptakan,
antara horoskop yang gemintang,
atau primbon yang bersandar pada falaq dan hikmah.

Dan malam, seperti biasa, tak pernah berpihak.

Aku masih mendengar gema langkahmu
di trotoar stasiun yang kini sepi banyak larangan,
di mana doa kehilangan bentuk,
dan waktu kehilangan jeda.

Kau tahu, bahkan iklan di layar kaca
terdengar lebih puitis daripada para penyair
yang kehabisan pengikutnya.

Tuhan,
andai Kau masih di antara cahaya neon
dan doa sumbang di jalan Colombo,
barangkali Kau pun lelah menjawab semua permohonan
yang ditulis tergesa di atas struk belanja 
dan dinding maya.

Dan setelah semua frekuensi padam,
yang tersisa hanya dengung sunyi tanpa salam.

Aku tak lagi mencarimu, Kekasih,
karena rindu bukan lagi perjalanan pulang,
melainkan reruntuhan rumah yang kita bangun
dari sisa-sisa kata.
Namun bila malam kembali basah,
dan lampu taman di Utara Malioboro itu menyala lagi,
izinkan aku sekali saja
menyebut namamu tanpa takut pada hujan,
pada doa,
atau pada Tuhan
yang mungkin masih belajar
bagaimana cara kehilangan dengan tidak sederhana.


Jakarta 2025

5 Sebuah Catatan: Gelombang Terakhir Kekasih, aku menulis rindumu di antara frekuensi radio yang sudah kehilangan siaran, di sela gumam penyiar tua yang masih menyebut nama-nam...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

>