+ -

26 Desember 2019

Laju Lusa Tak Akan Sama




Seperti halnya maaf yang harus diungkapkan, begitu juga dendam yang tak boleh tersimpan. Aku sadar atas perasaan yang telah membelenggu. Bentangan sawah dan pagi yang cerah di luar jendela kereta tak cukup membuatku tenang. Semakin aku dekat dengan tujuan, semakin kereta menuju pemberhentian terakhir. Semakin sempit dan tipis kesempatanku memanfaatkan momentum untuk mengungkapkan maaf. Aku sadar aku tak punya banyak waktu.

Aku tak tahu betul apa yang terjadi semalam denganku, aku tak tau apa yang kuperbuat hingga intuisiku memaksa bahwa aku harus segera memohon maaf.

"Kenapa aku harus memohon maaf padanya?"
"Apa yang telah ku perbuat?"
"Segera memohon maaflah!"
Kalimat tersebut terus saja menari-nari dalam pikiranku, aku mematung. Aku pasti telah melukai bahkan mematahkan ketenangan dalam imajinasinya. 

Sesosok wanita yang duduk di sampingku, wanita yang baru aku jumpai malam tadi. Tak ada kalimat atau sinar dari matanya lagi setelah pagi menjelang. Gimik lakunya seolah menuai kekecewaan terhadapku. Aku hanya terpaku terdiam dengan sesekali memperhatikannya. Dia mengetahuinya dan masih tak mau menatapku.

Mengapa harus peduli dengan perasaan yang jelas belum pasti sebabnya?
Mengapa percaya pada intuisi dan pengaruh keadaan bahwa lingkungan sekitar adalah gimik sebuah pesan?
Mengapa seolah firasat seperti cara alam menyampaikan pesan kepadaku?
Mengapa aku tampak hina dan begitu bersalah duduk di sampingnya pagi ini?

Aku selalu gagal membuka percakapan, aku selalu gagal mencairkan suasana dengan gimik dan senyuman. Ada sutra tipis yang terbentang di antara kepercayaannya kepadaku, kain yang tak bisa kutembus hanya dengan perasaan kotor berkecamuk. Kain sutra itu begitu tipis dan suci, aku merasa bukan laki-laki.
....

Lalu lalang manusia tak berarti apapun, aku mencoba memulai dan menghampirinya meski terus saja ada penolakan. Menembus di kerumunan manusia yang keluar dari gerbong kereta dan berlari di antara peron, cukup sulit untuk menjaga fokus agar tak kehilangan jarak padanya. Selepas kereta berhenti dia kabur dan begitu cepat mencoba menghilang. Terus saja aku coba memanggilnya. Tetap saja dia seolah tak mendengarnya. Sampai pada akhirnya kamipun terhenti karena harus menunggu antrean menyebrang rel karena ada kereta yang melintas.

"Mas mengapa kamu merasa bahwa kamu pantas dimaafkan?!"

"Apa kamu beranggapan bahwa dengan perhatian dan maaf, semua akan mencair dan kembali seperti semula?"

Aku terkejut dengan pertanyaannya, aku belum dapat menjawab selagi banyak orang yang mulai berdesakan untuk mendahuluiku. Dia masih berdiri di mana dia bertanya padaku sebelumnya. Aku masih menatapnya, tak ingin kehilangan dirinya. Aku ingin memohon maaf dan berbicara banyak atas apa yang telah terjadi, pada malam hingga selepas subuh tadi. Kami berdiri beberapa saat hingga suasanapun sudah kembali normal dan hanya tinggal kami berdua dan beberapa karyawan stasiun yang sedang menurunkan barang dari gerbong kereta.

"Aku paham dengan keadaan ini, aku yang tak pernah kenal bahkan melihatmu sebelumnya. Bisa saja aku tak peduli pada dirimu dan melupakannya. Toh aku juga tak akan pernah melihat dan mengenalmu. Sungguh aku tak benar-benar ingin berbicara dengamu kembali, apalagi mengenalmu!"

Terlihat bibirnya bergetar dan matanya sayu padam ketika kalimat tersebut keluar dari mulutnya. Akan ada gejolak hebat di sepanjang peron stasiun menuju pintu keluar. Permohonan maafku hanya berumur langkah kaki dan jarak interval di antara tempat kami berdiri hingga gerbang perpisahan. Aku masih menatapnya, aku terkejut dan masih tak bisa menjawabnya. Mulai terasa penyesalan begitu besar pada diriku setelah melihat ungkapan kekecewaanya. Kalimat pertanyaan darinya ibarat umpatan kekecewaan dari hatinya.

"Mbak aku mencoba memperbaiki keadaan, aku mencoba bertangggungjawab atas kekecewaanmu. Aku tak bermaksud lari begitu saja, karena itu justru akan jadi bebanku juga jadi derita kan buat mbak?"

Aku melihatnya mulai memadam, justru aku tersentak dengan sikapnya yang seolah cepat sekali berubah. Tadi aku melihatnya begitu agresif. Aku jadi bertanya pada diriku sendiri, apakah yang telah ku katakan seolah aku justru tak bertanggungjawab dan ingin meninggalkannya? Aku malah jadi ragu-ragu terhadap apa yang telah kuucapkan. Dia masih terlihat sayu.
"Iyaa.."

Sepatah kata itu dia menjawab dengan datar, terlihat dia seperti tak bersemangat kembali kemudian ia terduduk diam, di kursi tunggu beberapa langkah didepanku. Aku memberanikan diri untuk duduk di sampingnya tanpa ingin berkata apapun. Kita berdiam cukup lama. Langsir kereta silih berganti melintas di depan kami. Perlahan matahari semakin menunjukkan fajarnya.
….

"Namaku Maria, aku tak jadi kecewa denganmu, maaf aku menyalahkanmu. Aku kecewa dengan diriku sendiri, aku kira perjumpaan kita di kereta adalah awal dari kesan yang tak pernah aku lupakan. Kubiarkan dirimu tidur bersandar padaku, kubiarkan dirimu menaruh letih pada pundakku. Aku baru sekali ini menerima hal seperti itu dalam hidupku. Aku mengerti benar dari raut wajahmu yang begitu tulus dan tak ada niat jahat sedikitpun padaku. Kau sangat menarik dan terkesan mempunyai sikap dan tutur yang sopan. Kita berbicara panjang dan terkadang kita bisa berbagi canda. Kau bagikan sedikit coklat yang ada di kantongmu, dan kau menerima biskuit yang kutawarkan. Kita melewatinya dengan perasaan dan pikiran yang sadar. Aku tertarik padamu, dan seharusnya aku tak lakukan itu”.

Maria kembali terdiam, tapi aku masih belum bisa mengatakan apapun. Benar perasaan mendorongku untuk memohon maaf padanya. Ternyata memang ada dua batin yang sedang tak baik-baik saja. Aku telah merusak ketenangannya. Bagaimanapun aku tetap salah. Aku laki-laki.

"Namaku Ali, aku mohon maaf atas semm..."

"Maaf atas apa?, Maria memotong.

"Sebelumnya atas semua sikap, kalimat-kalimat, dan perkenalan yang baru terjadi pagi ini."
Kami berkenalan tanpa berjabat tangan. Bahkan kami tak saling menatap. Kami hanya mencoba menjelasakan pada keadaan apa yang telah terjadi. Apa yang menjadi gejolak pada hati dan suasana pagi ini.

"Kau tak melakukan apapun, bukan kau yang menggerakkan kepala dan tubuhmu padaku, aku kecewa pada diriku sendiri. Aku juga tak mengerti, kehadiran dirimu mendistraksiku. Tanpa harus mengerti dan mengenalmu dahulu, aku bisa menerimamu sepenuhnya. Aku tak memintamu mengingat atau melupakan kejadian di sepanjang malam tadi. Aku tidak memaksamu, karena dirimu juga tidak melakukan apapun. Aku tidak seharusnya seperti itu. Aku yang memohon maaf padamu Ali."

Kuberanikan diri menatapnya lama, kucoba mengarungi setiap lekuk garis wajahnya. Aku menangkap bola mata dan lekuk wajah sebagaimana perempuan pada umumnya. Entah apa yang membuat permasalahan dengannya terlihat lebih istimewa dari perempuan pada umumnya. Maria memiliki kesan wanita yang riang dan murah senyum. Malam tadi aku masih melihat Maria sebagaimana kesan pertamaku padanya. Pagi ini aku merusak kesanku sendiri. Apa yang telah terjadi telah merenggut senyum dan sinar di raut wajahnya.

Kami berjumpa di kereta, kami tak saling mengenal sebelumnya. Maria tak pernah bercerita tentang siapa dirinya dan begitu juga aku sebaliknya. Bahkan kami tak saling menanyakan tempat tujuan satu sama lain. Tujuan kereta yang kami naiki memang memiliki tujuan akhir yang sama, tapi kami juga melewati puluhan statiun dan di antaranya kami berhenti beberapa kali untuk menurunkan dan mengangkut penumpang.

Sepanjang malam kami hanya berdialektika dengan permasalahan-permasalahan insidental yang terjadi di dalam bahkan di luar jendela kereta. Sesekali kami bercanda dan tertawa kecil. Tak jarang ketika tak ada topik pembicaraan, kami memasang headset masing-masing dengan sesekali saling mencuri pandang dan berbagi senyuman.

Kesimpulan kecilnya, kita mempunyai dialek dan selera bercanda yang senada. Maria perempuan yang cerdas dan menarik. Aku hanya berharap setiap kali kami berdialektika di tiap pemberhentian, Maria tak pamit dan turun. Aku berharap Maria memiliki tujuan akhir yang sama denganku. Meski aku sendiripun tak tahu apa maksudku mengharapkan dia memiliki tujuan akhir yang sama denganku.

“Apakah malam tadi, aku melewatinya dengan tak wajar Maria?”
“Apa aku melakukan hal yang sebelumnya tak pernah kau lakukan?”
“Atau apa yang ku lakukan seolah mengingatkanmu pada hal yang seharusnya tidak kau ingat?”

Maria menatapku dalam,

“Aku mengenal laki-laki hanya melalui tulisan, buku dan cerita fiksi, aku tak pernah mau dan ingin mengenal laki-laki lebih jauh, bahkan sampai mencintainya.”
“Kau tak mengingatkanku pada siapapun, kau berhasil menggoyahkan iman dan melampauinya. Kau juga telah menyadarkanku bahwa aku masih selayaknya perempuan biasa.” Maria momotong bicaranya dengan menghela nafas panjang.

“Sebelum ini semua terjadi, aku ingin menjadi wujud dari pengejawentahan namaku, aku berusaha menjaga hatiku untuk tak jatuh cinta pada sosok, atau siapapun kecuali diriku sendiri. Aku sempat menuai kebimbangan yang besar dan mencoba menimbang kepantasan diriku terhadap siapa diriku dan mengapa aku harus seperti ini. Semalam aku meruntuhkan segala kebimbanganku bahwa ternyata aku masih manusia biasa dengan mengalir dan menikmatinya bersamamu. Aku melakukannya dengan penuh kesadaran meski aku tak benar-benar mempertimbangkan.”

“Apa kau telah melanggar dan itu padaku Maria?
"Kau memiliki kesan kesatria, Ali. Kau memiliki pesona yang pada setiap kali orang yang bertemu dan berdialektika dapat menaruh hati bahkan jatuh cinta padamu. Kau seorang lelaki yang taat. Aku melihatmu teduh saat kau menjalankan kewajibanmu awal pagi tadi. Dengan melihatmu seperti itu, kau membuatkku bimbang Ali, melihatmu teduh seolah itu juga membuatku ragu-ragu atas diriku sendiri,bahkan keputusanku telah mengalir bersamamu. Kau memohon maaf hanya karena menginginkan ketenangan bukan? Ini bukan caramu meminta maaf Ali, kau seharusnya tau pada siapa kau harus meminta maaf lebih dulu.”

“Kau memahami hal itu Maria?”

Sebagian perjalanan hidupnya. Tapi, untuk apa aku menanyakannya bila hanya akan menyakitinya. Sejujurnya aku tak bisa melihat wanita dalam keadaan seperti ini. Aku tak ingin melihat Maria terluka yang disebabkan olehku bahkan oleh hal-hal yang diluar diriku. Tapi siapa aku? Apa aku bisa membuatnya mengalir kembali tanpa membuatnya merasa akan tenggelam. Sepertinya dia telah tenggelam, dan menikmatinya.

“Kau menanyakan bagian mana? Aku juga belajar sepertimu, meski aku belum pernah belajar sejauh apa yang telah kau pelajari."

“Kau mengerti banyak hal, dan aku juga sepertimu, meski kita saling berbeda sudut pandang.”

“Ini bukan salahmu Ali, aku yang memulainya lebih dulu, aku yang telah membukakan pintu untukmu,dan aku juga yang telah mempersilahkanmu masuk padaku.”

“Maafkan aku Maria, dalam waktu sesingkat ini kubiarkan dirimu memahamiku sejauh itu.”

“Tapi sekarang semua sudah terjadikan? Apa yang akan kamu lakukan Ali? Kau mau menghapus dan mencoba menghilangkan semua ingatan pada diriku tentang dirimu dan malam yang sudah terlewati? Jangan memotong kompas, lalu ambil jalan pintas Ali. Aku tak ingin melihatmu sebagaimana aku melihat kebanyakan orang diluar sana. Kau adalah laki-laki yang bisa jadi panutan banyak orang.”

“Kau sudah mengerti kegundahanku Maria, aku merasa aku harus segera memohon maaf padamu untuk memastikan kau baik-baik saja. Aku merasa ada perubahan pada dirimu ketika pagi menjelang. Aku tidak bisa pergi meninggalkan kereta dan stasiun ini begitu saja dengan perasaan menggantung seperti ini. Meski maaf darimu itu sulit, setidaknya aku sudah tau kau kecewa denganku. Maafkan aku Maria, aku sudah berlaku dan bertindak lebih padamu. Aku telah berlaku tidak adil padamu.”

Maria kembali menatapku. Rasanya ingin sekali aku mengetahui apa yang sebenarnya menjadi permasalahan baginya. Maria berhasil membuat diriku tak berkutik dengan keadaan. Aku tak tau hipotesa apa yang ada didalam dirinya perihal diriku, hingga kesimpulan akhir malah membuatnya kecewa.

“Kau hanya akan datang untuk meninggalkan bukan?

Jangan lakukan itu pada semua wanita Ali. Aku taat sepertimu tapi kita berbeda, jangan menaruh harap padaku, kau tau pada siapa seharusnya menaruh harap. Kita tak mungkin melanjutkan semua ini. Setelah ini aku akan menjadi aku sebagaimana aku juga kamu sebagaimana kamu. Aku harus pergi Ali.”

Aku hampir kehilangan diriku, aku tak pernah mengalami gejolak seperti ini sebelumnya. Entah, aku harus berjalan maju untuk Maria atau berdiam diri yang berarti aku mundur. Aku terbelenggu dengan keadaan dan diriku sendiri. Aku seperti tak ingin kehilangan Maria pada pagi ini, sungguh aku ingin melakukan sesuatu hal untuk membuat semua ini jadi lebih baik atau setidaknya menjadi normal kembali.

Maria seperti menamparku dengan pemahamanya. Maria seperti telah mengambil hatiku dengan otak, hati dan tutur katanya. Aku ingin memaksa Maria untuk tetap tinggal dan berbenah bersama. Di sisilain, aku juga melihat ketidakmungkinan semua itu terjadi. Aku tertunduk dengan berat hati.

"Jangan menunduk Ali, setelah ini lanjutkan hidupmu. Sudah tak ada pertanyaan lagi kan dalam benakmu? Setelah ini juga, begitu aku melewati pintu keluar itu, aku tak mengenalmu lagi. Aku harap kau juga demikian."

“Bagimana jika kita berjumpa tanpa disengaja, tak mungkin begitu saja kau lupa padaku?”

“Jangan berharap sesuatu hal yang tak mungkin terjadi! Ini cuma soal waktu Ali, kau lebih tau makna waktu seperti halnya malam tadi kau jelaskan padaku. Terima kasih Ali. Selamat tinggal.

“Tuhan selalu bersamamu Maria!”

Maria bergegas dan berjalan menjauh, ku beranikan diri untuk sedikit berteriak. Maria tak sedikitpun merespon. Maria sudah bukan Maria.

Seribu asa seribu duka tak bisa menutupi segala bentuk kata - kata yang telah terucapkan. Aku masih belum dapat meninggalkan stasiun, hatiku seperti telah tertampar oleh keadaan. Aku masih tidak percaya semua ini terjadi, aku masih tidak percaya kami melakukan hal itu, aku tak tahu itu akan membuatnya terluka dan mengusik hidupnya. Aku masih berat hati, membiarkan Maria pergi tanpa pengertian yang benar-benar memberikannya kejelasan. Aku sendiripun akan berkata dan bertanya, siapa aku sebenarnya? Aku pun tak bisa menutupi bahwa hatiku hancur tak bernyawa beralaskan mimpi. Ada apa ini? Aku seperti sedang berada dalam angan-angan, bergelayut dengan keadaan tanpa kepastian. Aku ingin menggapainya, memperbaiki, atau membangun kembali apa yang telah hancur pada pagi ini. Tapi inilah akhir cerita yang tak bisa dipaksa dan tak pernah terduga sebelumnya.

Kini, sebuah angan hanya jadi impian, kami di hancurkan harapan yang tak akan pernah datang kembali, cinta tak ada hari esok dan laju lusa tak akan sama.


Jakarta 2019
5 Sebuah Catatan: Laju Lusa Tak Akan Sama Seperti halnya maaf yang harus diungkapkan, begitu juga dendam yang tak boleh tersimpan. Aku sadar atas perasaan yang telah membel...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

< >