Kekasih, kutuliskan puisi dan beberapa lembar cerita tentang dirimu yang kutulis saat hujan tak lagi mampu membasahi diriku —di bawah cahaya malam dan lampu taman yang penuh prasangka
Sungguh, air tak kuasa membasahi lengan dan lembaran-lembaran kertas saat kutuliskan puisi dan cerita penuh rasa pada malam itu —di tempat tak jauh dariku banyak prasangka yang lebih deras dari hujan yang mereka anggap itu bencana
Namun, bukan hujan jika tiada angin, bukan padam jika tiada air. Angin membawa selembar cerita yang ku tulis sesaat sebelum hujan reda —bulir huruf-huruf itu menari meminta untuk kembali, seolah di lembaran itu ada rasa tertatah dari jiwa yang terpesona untukmu. Kekasihku
Kembali! aku dengar deru angin memanggil saat lembar-lembar kertas berkelabat di setengah hatiku yang terjaga pada hujan, pada air yang tak berani menyentuh, pada debu yang memilih berenang mengalir pergi —aku menangis tersedu
Kekasih, tak apa marahlah kepadaku, setelah lembar terakhir penutup cerita itu hilang ditelan cakrawala. Marahlah, karena tiada kau tahu akhir cerita setelah ku taruh hati ini pada dirimu. Puisi yang kau anggap itu cinta menjadi elegi pelengkap duka. Marahlah! sebab sesaat sebelum maut datang menjemput kau akan tahu —aku mencintaimu
Surabaya 2018
ekspektasi saya tinggi untuk puisi ini
BalasHapus